sandy

Ada puisi yang tenang di balik jam-jam menjelang fajar di Tanjong Pagar Plaza, tempat keheningan kota berpadu dengan alunan kueh yang berirama — sebuah pertunjukan yang, di tangan cekatan Sandy Tan, menjembatani warisan dan inovasi dengan keanggunan yang luar biasa. Di kiosnya yang intim, Tan memulai harinya sebelum pukul 4 pagi, mengorkestrasi koreografi meditatif dari pohon palem yang ditaburi tepung dan ubi jalar berwarna permata. Ritual ini dijalankan dengan dedikasi yang tak tergoyahkan lima hari seminggu, hanya pada hari Kamis dan Minggu.

Dedikasi Tan berbicara tentang sesuatu yang lebih besar. Daya tarik Ang ku kueh yang abadi terletak pada kemampuannya yang mendalam untuk membangkitkan nostalgia dan memori budaya. Lebih dari sekadar manisan, Ang ku kueh merepresentasikan narasi yang dijalin dari generasi ke generasi — festival, pertemuan keluarga, setiap gigitan membangkitkan kearifan para tetua dan keakraban meja makan bersama.

Terlepas dari laju modernitas yang tak henti dan tren kuliner yang tak menentu, kelezatan tradisional ini tetap teguh, menolak keusangan. Sebaliknya, ia muncul dengan relevansi baru, dengan makna budayanya yang utuh, memikat baik penikmat mapan maupun pendatang baru yang penasaran — sebuah bukti bagaimana tradisi dan kontemporer tidak perlu bermusuhan

Di  Kueh Ho Jiak , filosofinya melampaui sekadar pelestarian. Evolusi dirangkul dengan penuh kesadaran. Etosnya elegan dalam kesederhanaannya: untuk bertahan dan berkembang, untuk menjaga warisan bagi generasi mendatang, modernisasi bukan lagi pengkhianatan, melainkan penghormatan. Ang ku kueh ubi jalar khas mereka mewujudkan visi ini — warna-warna cerah yang berasal dari palet alam, bukan aditif sintetis, komposisi sehat yang tak tersentuh pengawet. Kueh ini menghormati asal-usulnya sekaligus menyentuh kepekaan kontemporer, mengundang generasi baru untuk menemukan seni dalam setiap suapannya.

Putri Tan, Elizabeth Chan, dan cucu perempuannya, yang merupakan penjaga generasi penerus, mendampinginya di masa-masa puncak, membentuk adonan dengan rasa hormat yang sama sabarnya. Melestarikan tradisi membutuhkan lebih dari sekadar menghormati akar — tetapi juga menumbuhkan pertumbuhan baru. Dalam lanskap yang sadar akan citra masa kini, para gastronom mencari pengalaman yang memuaskan hasrat estetika sekaligus epikurean. Kemasan yang cermat, penyajian yang berkelas, dan inovasi cerdas menjadi sarana yang menempatkan warisan budaya di meja makan kontemporer.

Namun, penguasaan Tan tidak berasal dari formula yang kaku, melainkan dari kearifan pengalaman. Pendidikan kulinernya berasal dari sekelompok matriarki—nenek buyut, nenek, dan paduan suara pembuat kueh tua yang ramah yang akan mencondongkan badan untuk berbagi rahasia mereka: “agah-agah,” gumam mereka, mantra dapur yang berarti ‘memperkirakan secara intuitif’ tepung atau air. Tidak ada ukuran yang tepat, hanya insting. Melalui eksperimen yang tak kenal lelah, Tan telah mengembangkan pendekatan khasnya—sebuah perpaduan antara ingatan, kehangatan, dan intuisi kuliner.

Lokakarya ini sendiri telah berkembang secara organik. Yang awalnya hanya empat atau lima sesi mingguan, berkembang menjadi tujuh sesi hanya melalui promosi dari mulut ke mulut. Kini, dengan pemesanan daring yang lebih efisien, ritmenya menjadi lebih terukur. Setiap sesi imersi berdurasi dua jam menarik klien yang beragam: keluarga muda yang mencari koneksi bermakna melalui keahlian bersama, tim perusahaan yang mengejar pengalaman autentik. Peserta pulang dengan delapan kueh spesial — termasuk kenang-kenangan yang dapat dimakan hasil kreasi mereka sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *